Senin, 09 Januari 2012

Makna Filosofis Dibalik Masjid Agung Banten
Oleh: Midi Hardiani

Pada 2 Januari 2011, peserta School Of Writter  (SOW) IMM Ciputat melakukan wisata edukasi ke objek wisata Banten Lama di Kota Serang. Dibutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan dari Jakarta menuju kawasan ini dengan menggunakan bus. Saat tiba di lokasi, kami disambut oleh ibu-ibu “penukar uang receh”, pengemis, dan para pedagang yang memadati kawasan Masjid Agung Banten. Suatu keadaan yang jarang ditemui di masjid atau museum, serta kawasan wisata lainnya di Indonesia. Tapi sesungguhnya yang menarik perhatian saya dan para peserta lain adalah bangunan masjid dan sebuah menara yang kemudian menjadi sebagai simbol dari Provinsi Banten. (Insert: Menara Banten).

Saya langsung penasaran ingin mengetahui seluk beluk (baca: sejarah) dari Masjid Agung Banten ini. Maka untuk menemukan informasi mengenai sejarah Masjid Agung Banten, saya pun menemui bapak M. Hatta Kurdie selaku bagian pendidikan dan Informasi Masjid Agung Banten, beliau tinggal sekitar 300 meter dari komplek masjid.
`
Komplek Masjid Agung Banten terdiri dari bangunan masjid dengan serambi pemakaman di kiri dan kanannya, tiyamah (museum), menara, dan tempat pemakaman di halaman sisi utara. Arsitektur Masjid Banten hampir sama dengan Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Cirebon, karena ketiganya dibangun oleh arsitek yang sama, yaitu Raden Sepat dari kerajaan Majapahit. Menurut sejarah, bangunan Masjid Agung Banten banyak mengadopsi dari bangunan-bangunan Hindu. Akan tetapi menurut Bapak Hatta, karena yang dibuat adalah sebuah masjid, maka tentu akan dilihat dalam perspektif Islam. Ternyata di setiap bangunan yang didirikan di kawasan Masjid Agung Banten ini, selain didirikan atas dasar manfaat, juga terdapat makna filosofis Islam yang sangat mendalam.

Bangunan Masjid
Atap masjid yang dibuat seperti punden berundak-undak dengan susunan tumpang lima, adalah gambaran dari rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Lalu pintu masjid yang seluruhnya berjumlah enam, merupakan simbol dari rukun iman. Seluruh pintu Masjid Agung Banten sengaja dibuat kecil, agar setiap orang yang masuk masjid tunduk, sebagai simbol bahwa sebagai manusia harus bertawadhu kepada Allah dan bahwa semua manusia sama, tidak ada perbedaan. Tiang masjid yang terdiri dari 12 buah, melambangkan 12 bulan dalam satu tahun, serta seluruh tiang yang berada di sekitar masjid berjumlah 24 yang melambangkan waktu dalam satu hari penuh. Hal tersebut untuk mengingatkan manusia agar memanfaatkan setiap waktu yang tersedia untuk beribadah. Tinggi masjid mulai dari dasar sampai puncak masjid sepanjang 17 meter merupakan simbol dari jumlah rakaat shalat wajib dalam 1 hari, serta 17 ramadhan sebagai tanggal diturunkannya Al-Qur’an. Penyangga tiang (umpak) yang berbentuk seperti sebuah labu adalah simbol dari kemakmuran masyarakat banten. Lalu di halaman masjid terdapat 4 kolam yang melambangkan 4 mazhab yang ada di Indonesia, selain itu berfungsi pula untuk mencuci kaki sebelum memasuki masjid bagi para jamaah.


Menara
Masjid Agung Banten dibangun pada abad ke 16 atau sekitar tahun 1560, di tahun yang sama pula dibangun sebuah menara masjid yang berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan, serta tempat untuk memantau keadaan di teluk Banten. Menara tersebut dibangun oleh arsitek asal Cina yaitu Cek Ban Cut yang oleh Sultan Ageng Tirtayasa sang arsitek kemudian diberi gelar Pangeran Wiradiguna. Pada tahun 1683, menara tersebut kemudian direnovasi oleh Henrik Lucasz Cardeel dari Belanda, dan pada saat itulah mulai masuk pengaruh budaya Eropa yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh agama Budha dengan adanya padma (bunga teratai) pada puncak menara sebagai lambang agama Budha. Sangat terlihat jelas akulturasi budaya yang kuat dalam komplek masjid Agung Banten tersebut.

Tiyamah (Museum)
Tiyamah pada awalnya dibangun untuk tempat pertemuan bagi para ulama setiap 40 hari sekali untuk mengadakan pengajian, diskusi, serta laporan mengenai keadaan dari daerah masing-masing para ulama-ulama. Pada saat kesultanan Banten runtuh oleh Daendels pada tahun 1866, Banten pun berubah menjadi kota mati, dan tiyamah akhirnya hanya digunakan sebagai tempat penyimpanan alat-alat perang dan alat-alat rumah tangga (museum). Namun karena kekurangan tenaga kerja maka banyak dari peninggalan-peninggalan tersebut yang hilang.

Komplek Pemakaman
Pemakaman yang berada di komplek Masjid Agung Banten terdiri dari 7 makam yaitu: makam Maulana Hasanuddin (Sultan Banten 1), Permaisuri Maulana Hasanuddin (Nyai Ratu Ayu Kirana), Maulana Muhammad Nasruddin, Sultan Ageng Tirtayasa (Generasi ke 6), Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kohar), Sultan Abdul Fadhol (Generasi ke 8), dan Permaisuri dari Abdul Fadhol. Pemakaman di komplek Masjid Agung Banten pada akhirnya menjadi tempat ziarah warga Banten dan beberapa warga di luar Banten, dan ziarah inilah yang menjadi mayoritas tujuan utama masyakat mengunjungi kawasan Banten Lama.

Masjid Agung Banten dengan segala keindahan, sejarah dan makna falsafah Islam di dalamnya, tercatat sebagai masjid bersejarah yang paling banyak dikunjungi di Indonesia, dibandingkan dengan masjid-masjid lainnya. Setiap harinya masyarakat berbondong-bondong mengunjungi masjid Agung Banten untuk beribadah, menemukan arti dibalik detail bangunan yang berdiri, atau sekedar ingin merasakan semangat perjuangan Islam dan Indonesia yang lama terpendam. Masjid Agung Banten dan menara serta bangunan lain di kawasan Banten lama, adalah peninggalan sejarah yang besar, yang harus dipelihara kesucian dan fungsi serta manfaatnya ditengah masyarakat, sehingga generasi muda selanjutnya dapat pula merasakan makna penting dibalik keagungan sejarah Banten Lama. [Midi-PK. ITK, Peserta SOW]

0 Comments:

Post a Comment



You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
SOW Community. Diberdayakan oleh Blogger.