Senin, 09 Januari 2012

Jilbab Sebagai Fashion Statement!
Oleh: Puti Hasanatu Sa'diyah

Kata siapa pakai jilbab itu norak dan gak gaul? Persepsi yang ada di kebanyakan remaja dan wanita muda saat ini, bahwa memakai jilbab itu suatu hal yang ”kampungan” dan tidak fleksibel. Jilbab (kerudung) akan menekan perempuan dan membatasi aktivitasnya, jilbab juga menghambat kemajuan muslimah; seringkali dilontarkan oleh mereka yang tidak setuju bahwa memakai jilbab adalah suatu kewajiban. Ada juga yang menganggap bahwa memakai jilbab hanyalah sebuah budaya yang bisa diikuti atau tidak, sesuka hati. Orang Australia yang pernah tinggal di Indonesia dan sering ke Malaysia mengatakan, untuk apa kita mengikuti budaya Arab sedangkan busana budaya Indonesia seperti kebaya hanya digunakan dalam acara tertentu.

Memang dalam keadaan tertentu, ideologi termasuk ke dalam budaya. Namun maksudnya hanyalah terbatas pada nili-nilai yang dianut sesuai dengan nilai budaya setempat. Itupun jika diakulturasi, berpotensi melahirkan penyimpangan. Nilai berjilbab di Indonesia yang mayoritas pemeluk Islam juga masih rendah. Di banyak tempat perkantoran, masih banyak pegawai wanita yang dilarang mengenakan jilbab, dengan alasan yang beragam, mulai dari menjaga keseragaman hingga terkait dengan alasan penitraan perusahaan. Kasus seperti ini sering terjadi, seperti yang dialami seorang karyawati PT Graha Layar Prima, yang dikenal dengan Blitzmegaplex Teras Kota, BSD City, Serpong beberapa waktu lalu. Padahal, perihal berjilbab merupakan hak manusia untuk menjalankan perintah agamanya dan jika dilanggar termasuk pelanggaran HAM.

Sejarah Berjilbab di Indonesia
Secara garis besar, mulai maraknya penggunaan jilbab di Indonesia, dimotori oleh siswi sekolah. Pengaruh penting yang menggerakkan mereka biasanya setelah mengikuti pelatihan-pelatihan ke-Islaman yang diadakan oleh ormas-ormas Islam dan membaca buku-buku ke-Islaman yang diterjemahkan. Buku-buku yang diterjemahkan umumnya merupakan karya pemikir dan tokoh-tokoh pergerakan Islam seperti: Abu A’la Al-Maududi, Sayyid Qutub, dan Hasan Al-Banna, yang sering dikategorikan sebagai tokoh-tokoh ‘fundamentalis’.

Di Jakarta, maraknya jilbab di kalangan pelajar SMA negeri dimotori oleh Pelajar Islam Indonesia (PII), terutama PII Jakarta pusat, akhirnya pada bulan juni 1980 dicanangkan sebagai awal dari ‘jilbabisasi’ yang mereka lakukan.
Namun perjuangan menegakkan hak untuk berjilbab terasa cukup berat di negeri ini terkait peraturan pemerintah dan perusahaan atau lembaga-lembaga, hingga ada sekolah-sekolah tertentu yang melarang penggunaan jilbab.

Pada tanggal 17 Maret 1982, terjadi kondisi nasional yang kontroversi dengan semangat jilbab waktu itu yaitu dikeluarkannya SK 052/C/Kep/d.82 tentang kebijakan baru penggunaan seragam sekolah secara nasional. Secara resmi, tujuan utama keluarnya SK ini adalah menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan antar siswa. Namun tidak bisa dipungkiri, SK ini muncul ketika mulai banyak siswi-siswi di SMA negeri yang memakai jilbab. Pihak sekolah menganggap hal ini sebagai problem karena sekolah negeri bukanlah sekolah agama. Pasca kebijakan pemerintah tentang seragam sekolah ini banyak hal kontroversial yang terjadi di sekolah-sekolah dan banyak memakan korban serta setelah SK tersebut, masalah jilbab di sekolah-sekolah mulai mencuat kepermukaan.

Seiring dengan waktu
, respon dan tanggapan dari lembaga Islam mulai bermunculan; DDII, PII, MUI, dan lembaga Islam yang lain mengungkapkan keprihatinannya atas masalah-masalah jilbab yang sedang terjadi. Berawal dari semua ini komunikasi antara pemerintah dengan umat Islam yang diwakili oleh MUI mulai intensif dalam menyelesaikan permasalahan jilbab ini walaupun beberapa saat setelah itu pelarangan jilbab kembali terjadi lagi. Banyak peristiwa yang antagonistik dengan peristiwa revolusi ini, tapi ada sebuah hal yang harus direnungkan bahwa konfigurasi jilbab saat ini adalah buah dari perjuangan orang-orang terdahulu yang ingin menegakkan panji Islam dinegeri yang kita cintai ini.

Mengubah Perspektif
Dalam sebuah blog, diungkapkan secara jujur oleh penulisnya bahwa ia merasa takut melihat wanita berjilbab. “jangan-jangan ada bom di dalamnya,” ungkapnya. Sebuah  stereotip yang buruk akibat fitnah dari pihak tak bertanggungjawab. Tapi itu bagi sebagian orang yang terlalu menutup diri dari pergaulan, yang hanya ingin bergaul dengan orang-orang yang “sejenis” dengannya saja. Sedangkan bagi wanita berjilbab lain yang cukup (tidak berlebihan) terbuka dalam pergaulan dengan orang yang tidak seideologi dengannya, justru dapat “menyejukkan” pandangan mata dan keadaan.

Jilbab hanyalah sehelai kain yang sederhana. Tampilannya tak semebyar fashion show Paris, tidak juga seklasik pakaian eropa abad pertengahan, namun dengan kesederhanaannya itu jilbab tak jarang menjadi simbol perlawanan. Ia adalah bunga-bunga bermekaran bagi mereka yang meyakini kewajibannya, tapi jadi sayatan pedang bagi yang phobi terhadapnya. Begitulah macam-macam manusia memandang jilbab. Oleh sebab itu, lewat jilbab itulah benturan peradaban sering terjadi, baik di skala mikro maupun makro.

Seiring dengan kondisi saat ini, bentuk jilbab mengalami perkembangan yang awalnya biasa-biasa saja menjadi perubahan yang luar biasa diiringi dengan militansi pelajar yang ingin mengekspresikan bagian dari simbol ideologi ini. Perkembangan itu berpotensi mengarah pada hal yang positif dan negatif. Dalam pandangan yang  positif, perkembangan ke arah yang lebih fashionable itu dapat mengubah konotasi negatif dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Pasalnya, dengan sikap yang terbuka terhadap modernisme, maka jilbaber juga akan lebih luwes dan mudah diterima dalam pergaulan, yang juga membuka celah untuk berdakwah. Sedangkan, potensi negatif dari jilbab yang fashionist justru akan menyimpang dari tujuan yang telah digariskan atau menyimpang dari asas syar’i yang ditujukan untuk menjaga kehormatan wanita. Pilihan kembali pada masing-masing, berjilbab dengan apa adanya, atau fashionable tapi tetap menjaga batas syar’i.

Jilbab bukan sekedar fashion sederhana tanpa konsep, jilbab sesungguhnya adalah sebuah fashion statement yang menjadi tolak ukur perkembangan mode dunia, layaknya busana punk. Perbedaannya, busana punk merupakan simbol perlawanan  terhadap kapitalisme, sedangkan jilbab adalah simbol perlawanan terhadap “eksploitasi hawa nafsu”. Nilai sesungguhnya yaitu pemahaman seorang wanita bahwa jilbab merupakan pakaian suci wujud kasih sayang Tuhan kepada kaum hawa, dan sebagai kehormatan, juga derajat yang tinggi bagi wanita yang menentukan pilihan untuk berbusana jilbab. [Puti-PK.IDIK, Peserta SOW]

0 Comments:

Post a Comment



You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
SOW Community. Diberdayakan oleh Blogger.