Rabu, 07 November 2012


Waria oh Waria
Oleh: Fikriyah


Bukan sesuatu yang tabu lagi bagi kini mendengar istilah trans gender yang sekarang lebih akrab di telinga masyarakat dengan istilah Waria (wanita-pria). Kehadiran para waria pun sudah dianggap biasa apalagi di kota sebesar Jakarta ini. Dan waria saat ini seolah-olah sudah menjadi pembagian tersendiri dari jenis manusia selain yang berjenis kelamin pria dan wanita. Padahal Rasulullah SAW telah melarang seorang hamba laki-laki yang menyerupai perempuan dan seorang hamba perempuan yang  menyerupai laki-laki.

Dari Ibnu abas RA. Ia berkata, ”Rasulullah SAW melaknat orang laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki,” (HR. Bukhari)

Yang menjadi pertanyaan, apakah larangan itu berlaku bagi non-muslim? Lalu sekarang timbul pertanyaan apakah seorang muslim akan mempertimbangkan resiko sebuah dosa apabila dia sudah merubah hidupnya dengan kata lain berpaling dari takdir Allah, kodrat yang sudah ditentukan?

Di Cinere, Tanggerang, bahkan ada komunitas trans gender atau waria yang sekarang dinamakan kampung waria. Menurut mereka para waria, trans gender adalah sebuah takdir dari  sebuah naluri. Lalu bagaimana dengan pendapat adanya trans gender yang dikarenakan keadaan cacat dari kecil? Hal demikian memang sudah jarang menjadi alasan seseorang memutuskan untuk menjadi seorang waria, apalagi alasan salah pola asuh dari keluarga dan pengaruh lingkungan. Tapi kini mereka para waria mengatakan bahwasanya ini semua adalah takdir dan bahkan sebuah pilihan hidup.

Apakah menjadi waria adalah sebuah pilihan? Semua bisa berawal dari kecenderungan naluri, misalkan di waktu kecil mereka terlahir sebagai seorang laki-laki akan tetapi setelah beranjak dewasa mereka merasa bahwasanya meraka lebih cenderung menjadi seorang wanita dari segi sikap, perilaku, atau mungkin hasil dari pemeriksaan dokter yang bahwasanya gen laki-laki tidak lebih banyak dari gen perempuan, maka dari itu cenderung menjadi cerminan sosok wanita.

Di Indonesia sendiri sudah ada penertiban untuk para waria, akan tetapi justru mereka protes dan demo untuk diakui keberadaanya setara sebagai warga Indonesia. Mereka juga berfatwa bahwasa seorang waria adalah sebuah takdir yang akan terus terjadi. Jadi apabila pada tahun sekarang 7 juta waria diberantas bahkan di hukum mati, apakah ada jaminan 10 tahun mendatang tidak ada waria-waria kecil? Lalu, mau dimana nasib orang-orang memilih menjadi waria? Kemudian, ketika waria sudah menjadi fakta, bagaimana cara kita sebagai sesama manusia meyakini bahwasanya waria juga butuh diberdayakan, bukan di anggap sebagai ‘makhluk lain’?

Tentu ini tergantung cara pendekatan kita terhadap para waria. Apakah kita bisa berdialog dan berkumpul bahkan sharing bersama mereka. Seperti pepatah mengatakan “tak kenal maka tak sayang” mungkin dengan cara berulang-ulang melakukan pamahaman tentang waria pun bisa menjadi jembatan untuk kita mengenal keberadaan waria. Karena pada kenyataanya tidak dapat kita pungkiri di sekeliling kita meskipun tidak banyak terdapat waria, bahkan dari mereka ada yang menjajaki studinya di perguruan tinggi. Sebut saja “mama Yoli”, dari suka Aasmat yang kini menjadi presiden komunitas trans gender di Cinere, bahkan beliau mencalon sebagai ormas pemberdayaan hak asasi para waria di pemerintahan. Fakta ini membuat kita makin tercengang. Bahkan mereka bisa membuktikan bahwasanya mereka bisa mencetak generasi yang luar biasa.

Lalu siapa yang bertanggungjawab jika waria ternyata berada pada jalan yang salah? Rasanya itu menjadi tanggungjawab kita semua yang berdiri dalam pilihan yang ditentukan Allah.

0 Comments:

Post a Comment



You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
SOW Community. Diberdayakan oleh Blogger.