Jumat, 02 November 2012


Perjalanan Seorang Muallaf
Oleh: Ahmad Firdaus Tarigan

Sebutlah namaku Syarifuddin, aku dilahirkan di Sumatera Utara tepatnya di Kepulauan Nias. Aku tiga bersaudara, kedua kakakku perempuan dan aku sendiri anak laki-laki yang paling bontot. Keluargaku penganut agama protestan yang taat, ayah seorang pendeta, dan ibuku seorang ibu rumah tangga.

Ibu selalu mendampingi ayah kalau ada kerohanian di gereja, sedangkan kakakku keduanya menjadi biarawati. Awal kisah sedih hidupku dimulai saat ibuku meninggal dunia ketika melahirkanku. Sontak, ayah sangat terpukul dengan kepergian ibu. Tak banyak kisah yang aku ketahui mengenai sosok seorang bunda yang telah berjuang mempertaruhakan nyawanya demi melahirkan seorang putera yang hingga kini belum bisa membalas kebaikannya sedikitpun.

Setelah kepergiaan ibu untuk selamanya, selang beberapa tahun kemudian, aku kembali mendapat ujian dengan kepergian ayah kepangkuan Sang Ilahi. Sebuah kepergian yang sampai saat ini masih mengganjal di benakku dikarenakan tidak wajarnya penyakit yang dialami oleh ayah. Sempat terpikir olehku saat itu kalau ayah meninggal karena diguna-guna, tapi apa daya seorang bocah empat tahun yang hanya bisa menangis meratapi kepergian ayahnya.

Selalu teringat dalam benakku sebelum ayah meninggal, ketika itu aku sangat senang bermain sendiri di kampung sebelah yang jaraknya kira-kira tiga kilometer dari kampungku. Kampung itu bernama kampung muslim, sebuah kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang tentu bertolak belakang dengan agama yang dianut di kampungku.

Hari demi hari berlalu, senang rasanya melihat penduduk muslim saat mereka pergi mengaji dengan Al-Quran di tangan dan peci serta sarung yang mereka kenakan, ingin rasanya aku merasakan seperti apa yang mereka rasakan saat itu. Dengan polos, aku menceritakan pengalamanku di kampung muslim itu kepada ayah. Namun tak disangka, bak petir menyambar pohon, ayah langsung memarahiku sejadi-jadinya dan mengurungku seharian di dalam kamar mandi tanpa sedikitpun diberi makan.

Peristiwa tersebut menjadi pengalaman awal dari kisah panjangku sebagai seorang mualaf yang dipenuhi dengan berbagai macam duri ujian dan cobaan yang kurasakan sejak dari kampung halaman, bahkan hingga sampai detik ini, bekas luka itu masih dapat kurasakan baik lahir maupun batin. Namun semua luka dan perih yang pernah aku alami, belumlah sebanding dengan ketenangan jiwa dan rasa haus akan rohani yang kini mulai terisi oleh lafadz-lafadz nan indah dan penuh makna dari Al-Quran.

Hidayah itu datang saat aku tumbuh menjadi dewasa. Aku bisa merasakan indahnya mengucapkan dua kalimat syahadat di daerah Bandung, tentu saat Ayah dan Ibu tidak dapat menyaksikan saat-saat paling membahagiakan dan mengharukan yang pernah aku alami dalam hidup. Dua kalimat syahadat yang meneguhkan-ku sebagai umat Islam, agama yang memiliki penganut terbesar di Indonesia, agama yang damai, dan agama yang hanya mengenal satu Tuhan, tidak seperti agamaku dulu yang mempercayai Trinitas Tuhan. 

*Peserta SOW, Mahasiswa LIPIA

0 Comments:

Post a Comment



You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
SOW Community. Diberdayakan oleh Blogger.