Perjalanan Seorang Muallaf
Oleh: Ahmad Firdaus Tarigan
Sebutlah namaku Syarifuddin, aku dilahirkan
di Sumatera Utara tepatnya di Kepulauan Nias. Aku tiga bersaudara, kedua kakakku
perempuan dan aku sendiri anak laki-laki yang paling bontot. Keluargaku
penganut agama protestan yang taat, ayah seorang pendeta, dan ibuku seorang ibu
rumah tangga.
Ibu selalu mendampingi ayah kalau ada
kerohanian di gereja, sedangkan kakakku keduanya menjadi biarawati. Awal kisah
sedih hidupku dimulai saat ibuku meninggal dunia ketika melahirkanku. Sontak,
ayah sangat terpukul dengan kepergian ibu. Tak banyak kisah yang aku ketahui
mengenai sosok seorang bunda yang telah berjuang mempertaruhakan nyawanya demi
melahirkan seorang putera yang hingga kini belum bisa membalas kebaikannya
sedikitpun.
Setelah kepergiaan ibu untuk selamanya,
selang beberapa tahun kemudian, aku kembali mendapat ujian dengan kepergian
ayah kepangkuan Sang Ilahi. Sebuah kepergian yang sampai saat ini masih mengganjal
di benakku dikarenakan tidak wajarnya penyakit yang dialami oleh ayah. Sempat
terpikir olehku saat itu kalau ayah meninggal karena diguna-guna, tapi apa daya
seorang bocah empat tahun yang hanya bisa menangis meratapi kepergian ayahnya.
Selalu teringat dalam benakku sebelum ayah meninggal,
ketika itu aku sangat senang bermain sendiri di kampung sebelah yang jaraknya
kira-kira tiga kilometer dari kampungku. Kampung itu bernama kampung muslim,
sebuah kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang tentu bertolak
belakang dengan agama yang dianut di kampungku.
Hari demi hari berlalu, senang rasanya
melihat penduduk muslim saat mereka pergi mengaji dengan Al-Quran di tangan dan
peci serta sarung yang mereka kenakan, ingin rasanya aku merasakan seperti apa
yang mereka rasakan saat itu. Dengan polos, aku menceritakan pengalamanku di
kampung muslim itu kepada ayah. Namun tak disangka, bak petir menyambar pohon,
ayah langsung memarahiku sejadi-jadinya dan mengurungku seharian di dalam kamar
mandi tanpa sedikitpun diberi makan.
Peristiwa tersebut menjadi pengalaman awal
dari kisah panjangku sebagai seorang mualaf yang dipenuhi dengan berbagai macam
duri ujian dan cobaan yang kurasakan sejak dari kampung halaman, bahkan hingga sampai
detik ini, bekas luka itu masih dapat kurasakan baik lahir maupun batin. Namun
semua luka dan perih yang pernah aku alami, belumlah sebanding dengan
ketenangan jiwa dan rasa haus akan rohani yang kini mulai terisi oleh
lafadz-lafadz nan indah dan penuh makna dari Al-Quran.
Hidayah itu datang saat aku tumbuh menjadi
dewasa. Aku bisa merasakan indahnya mengucapkan dua kalimat syahadat di daerah Bandung,
tentu saat Ayah dan Ibu tidak dapat menyaksikan saat-saat paling membahagiakan
dan mengharukan yang pernah aku alami dalam hidup. Dua kalimat syahadat yang meneguhkan-ku
sebagai umat Islam, agama yang memiliki penganut terbesar di Indonesia, agama
yang damai, dan agama yang hanya mengenal satu Tuhan, tidak seperti agamaku
dulu yang mempercayai Trinitas Tuhan.
*Peserta SOW, Mahasiswa LIPIA