Jumat, 09 November 2012



Surat
Oleh: Restia

Langit, senja Ciputat tak pernah seindah langit Lembak Pasang, tanah kelahiranku yang selalu ku kenang. Biasanya setiap senja tiba aku senang berlama-lama di luar rumah hanya untuk menyaksikan kemilau langit senja di tambah dengan indahnya pantai yang dihiasi sunset, juga burung-burung yang ingin pulang ke sarangnya.

Setiap hari senja langit Lembak Pasang itu selalu sunyi, tapi itu yang membuatku senang. Tahukah kau? Karena dengan kesunyian itulah aku bisa menikmati indahnya senja Lembak Pasang itu tanpa ada gangguan apapun dan itu membuatku sangat nyaman. Tidak seperti langit kota baru, beribu senja aku lewati penuh kesan dan kenangan tapi sedikit yang dapat aku nikmati karena aku tau kota baru itu terlalu sibuk dnegan berbagai urusan-urusan. Dan aku ikut terseret di dalamnya.

***

Surat dari keluargaku terletak lesu di rak bukuku. Surat yang datang sekian kali, setelah surat-surat yang lalu mendesakku untuk pulang. Aku takut menyentuh surat itu. Aku tak punya keberanian untuk membukanya apalagi membacanya. Hingga malam larut, aku masih takut membukanya. Bukan pulang ke Lembak Pasang yang aku takutkan, sebenarnya. Rindu selalu mendatangiku. Akan sanak saudara di sana, terlebih pada ibu.

Ibu. Setiap kali menyebut namanya, rindu pulang kampung semakin menghantuiku. Tetapi aku tetap saja tak berani membuka surat itu. Aku takut itu malah menambah rasa rinduku pada ibu, juga Lembak Pasang.

***

Aku pandangi surat itu. Buka dan bacalah jika kamu masih menganggap keluarga adalah bagian dari hidupmu. Hati kecilku coba membisikkannya padaku. Bacalah agar kau dapat merasakan tanah kering karena panas yang masih setia pada Lembak Pasang. Bacalah agar kau dapat menikmati langit senja Lembak pasang. Bacalah agar kau dapat mengingat masa kecilmu. Bukankah Ciputat tak mampu memberikan kebahagiaan yang lebih, juga kehidupan sempurna. Ciputat memang memberimu materi yang berlimpah, tapi yang lebih banyakl justru kesepian yang sangat.Ingat, kau hanya perantau disini.

***

Darahku berdesir. Aku tak akan bisa mengingkari tanah kelahiranku. Karena disanalah tangis pertamaku terdengar. Tanah, air, udara, angin, langit desa yang jadi saksi kelahranku. Aku tak akan pernah bisa mengingakarinya. Tak akan pernah bisa.

***

Lambat, aku mulai menyentuh surat yang tergeletak lesu di rak buku. Lagi, darahku berdesir ketika jemariku menyentiuh ujung amplop. Bukalah. Aku himpun seribu kekuatan untuk bisa membaca surat itu. Aku berusaha menenangkan hatiku. Tapi tiba-tiba aku menggigil. Rasa rindu dan kecintaan semakin mendekatiku. Aku merasakan cinta yang sanagt. Tanah kelahiranku yang terletak kira-kira ratusan kilo seperti terang benderang dalam pandangan. Kemilaunya melebihi kemilau bintang di langit. Aku akan membuka surat itu dengan suka cita, dengan sepenuh jiwa dan raga.

Ah, kenapa perasaanku kacau datang seperti hendak membunuhku? Aku selalu takut. Takut membuka dan membacanya. Dan ini entah hari keberapa aku kembali termenung di depan surat yang tergeletak itu. Aku tak punya nyali, bahkan tubuhku terasa rontok habis di depannya, Aku tak bisa.

0 Comments:

Post a Comment



You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
SOW Community. Diberdayakan oleh Blogger.