Surat
Oleh:
Restia
Langit, senja Ciputat tak pernah seindah
langit Lembak Pasang, tanah kelahiranku yang selalu ku kenang. Biasanya setiap
senja tiba aku senang berlama-lama di luar rumah hanya untuk menyaksikan
kemilau langit senja di tambah dengan indahnya pantai yang dihiasi sunset, juga
burung-burung yang ingin pulang ke sarangnya.
Setiap hari senja langit Lembak Pasang
itu selalu sunyi, tapi itu yang membuatku senang. Tahukah kau? Karena dengan
kesunyian itulah aku bisa menikmati indahnya senja Lembak Pasang itu tanpa ada
gangguan apapun dan itu membuatku sangat nyaman. Tidak seperti langit kota
baru, beribu senja aku lewati penuh kesan dan kenangan tapi sedikit yang dapat
aku nikmati karena aku tau kota baru itu terlalu sibuk dnegan berbagai
urusan-urusan. Dan aku ikut terseret di dalamnya.
***
Surat dari keluargaku terletak lesu di
rak bukuku. Surat yang datang sekian kali, setelah surat-surat yang lalu
mendesakku untuk pulang. Aku takut menyentuh surat itu. Aku tak punya
keberanian untuk membukanya apalagi membacanya. Hingga malam larut, aku masih
takut membukanya. Bukan pulang ke Lembak Pasang yang aku takutkan, sebenarnya.
Rindu selalu mendatangiku. Akan sanak saudara di sana, terlebih pada ibu.
Ibu. Setiap kali menyebut namanya, rindu
pulang kampung semakin menghantuiku. Tetapi aku tetap saja tak berani membuka
surat itu. Aku takut itu malah menambah rasa rinduku pada ibu, juga Lembak
Pasang.
***
Aku pandangi surat itu. Buka dan bacalah
jika kamu masih menganggap keluarga adalah bagian dari hidupmu. Hati kecilku
coba membisikkannya padaku. Bacalah agar kau dapat merasakan tanah kering
karena panas yang masih setia pada Lembak Pasang. Bacalah agar kau dapat
menikmati langit senja Lembak pasang. Bacalah agar kau dapat mengingat masa
kecilmu. Bukankah Ciputat tak mampu memberikan kebahagiaan yang lebih, juga
kehidupan sempurna. Ciputat memang memberimu materi yang berlimpah, tapi yang
lebih banyakl justru kesepian yang sangat.Ingat, kau hanya perantau disini.
***
Darahku berdesir. Aku tak akan bisa
mengingkari tanah kelahiranku. Karena disanalah tangis pertamaku terdengar.
Tanah, air, udara, angin, langit desa yang jadi saksi kelahranku. Aku tak akan
pernah bisa mengingakarinya. Tak akan pernah bisa.
***
Lambat, aku mulai menyentuh surat yang
tergeletak lesu di rak buku. Lagi, darahku berdesir ketika jemariku menyentiuh
ujung amplop. Bukalah. Aku himpun seribu kekuatan untuk bisa membaca surat itu.
Aku berusaha menenangkan hatiku. Tapi tiba-tiba aku menggigil. Rasa rindu dan
kecintaan semakin mendekatiku. Aku merasakan cinta yang sanagt. Tanah
kelahiranku yang terletak kira-kira ratusan kilo seperti terang benderang dalam
pandangan. Kemilaunya melebihi kemilau bintang di langit. Aku akan membuka
surat itu dengan suka cita, dengan sepenuh jiwa dan raga.
Ah, kenapa perasaanku kacau datang
seperti hendak membunuhku? Aku selalu takut. Takut membuka dan membacanya. Dan
ini entah hari keberapa aku kembali termenung di depan surat yang tergeletak
itu. Aku tak punya nyali, bahkan tubuhku terasa rontok habis di depannya, Aku
tak bisa.