Tampilkan postingan dengan label Suara Hati Penulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Suara Hati Penulis. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 November 2012



Aku Cinta Indonesia
Oleh: Abdullah Ramadhan

Namaku Aphin, ini adalah nama asli dari nenekku, panggilan kesayangan lebih tepatnya. Aku keturunan Cina dengan wajah khas artis mandarin, oval dengan mata sipit, yang jika tersenyum maka mataku akan hilang dari penglihatan. Itulah mengapa namaku cukup berbau Cina. Tulisan singkat ini menceritakan kenapa aku Cina, dan kenapa aku hanya bangga dengan Indonesia-ku.

Dahulu, nenek moyangku adalah orang-orang yang ahli dalam pertambangan, sehingga dari daratan Cina sana orang-orang Belanda mengangkut nenek moyangku itu ke Indonesia sebagai pekerja tambang. Dan akhirnya buyut, kakek, nenek, ayahku, dan aku juga menjadi salah satu suku di Indonesia, yaitu Tionghoa. Walaupun aku Cina, tapi jangan tanyakan lagi bagaimana perasaanku tentang negeri ini, Indonesia. Aku katakan bahwa aku sungguh bangga menjadi orang Indonesia! Walau tragedi Mei 1998 begitu menyakitkan bagi warga keturunan Tionghoa, tetapi sungguh sedikitpun aku tidak menyesal menjadi warga Indonesia.

Kalaulah orang bangga menjadi warga negara Amerika, apalah yang bisa dibanggakan dengan menjadi warga negara dari negara pembunuh dan miskin seperti Amerika. Karena sesungguhnya Indonesialah yang memberi kehidupan kepada negaranegara seperti Amerika, kalaulah tidak ada Negara Indonesia, maka Jepang, Amerika, Inggris, dan Belanda, mereka tidak akan maju seperti sekarang. Penjajahan yang berlangsung lama yang di negeri ini oleh bangsa Belanda, Jepang dan Inggris cukup sebagai bukti betapa mereka sangat tergantung pada negara ini. Bahkan bagi Amerika, penjajahan itu masih berlangsung sampai saat ini dengan menguras sumber daya alam Indonesia dari ujung Aceh sampai Papua.

Buktikan bahwa engkau bangga menjadi orang Indonesia. Kalau dahulu putera bangsa dapat membuat pesawat, maka seharusnya saat ini kita bisa lebih maju dari bangsa-bangsa yang justru kemajuannya tergantung pada Indonesia. Kuncinya adalah belajar! Sekali lagi aku katakan namaku Aphin. Keturunan Cina, tapi aku tidak bangga mengakui Cina sebagai asalku, karena aku hanya bangga menjadi orang Indonesia. Atas kebanggan itu kami telah mencoba untuk turut membangun dan mewarnai negeri ini, dari budaya kami sumbangkan barongsai, dari bajasa kami padukan abajasa Tionghoa bukan bahasa mandarin, dan dari makanan kami berikan martabak manis sebagai penambah cita rasa keanekaragaman makanan khas nusantara.

Disinilah tempatku berpijak,
Indonesia tanah airku…
Disini ku berdiri, mengangkat tangan..
Kuteriakkan kata-kata, “Indonesia,
Aku Cinta Padamu!”

*Peserta SOW, Mahasiswa PTIQ

Jumat, 02 November 2012


Perjalanan Seorang Muallaf
Oleh: Ahmad Firdaus Tarigan

Sebutlah namaku Syarifuddin, aku dilahirkan di Sumatera Utara tepatnya di Kepulauan Nias. Aku tiga bersaudara, kedua kakakku perempuan dan aku sendiri anak laki-laki yang paling bontot. Keluargaku penganut agama protestan yang taat, ayah seorang pendeta, dan ibuku seorang ibu rumah tangga.

Ibu selalu mendampingi ayah kalau ada kerohanian di gereja, sedangkan kakakku keduanya menjadi biarawati. Awal kisah sedih hidupku dimulai saat ibuku meninggal dunia ketika melahirkanku. Sontak, ayah sangat terpukul dengan kepergian ibu. Tak banyak kisah yang aku ketahui mengenai sosok seorang bunda yang telah berjuang mempertaruhakan nyawanya demi melahirkan seorang putera yang hingga kini belum bisa membalas kebaikannya sedikitpun.

Setelah kepergiaan ibu untuk selamanya, selang beberapa tahun kemudian, aku kembali mendapat ujian dengan kepergian ayah kepangkuan Sang Ilahi. Sebuah kepergian yang sampai saat ini masih mengganjal di benakku dikarenakan tidak wajarnya penyakit yang dialami oleh ayah. Sempat terpikir olehku saat itu kalau ayah meninggal karena diguna-guna, tapi apa daya seorang bocah empat tahun yang hanya bisa menangis meratapi kepergian ayahnya.

Selalu teringat dalam benakku sebelum ayah meninggal, ketika itu aku sangat senang bermain sendiri di kampung sebelah yang jaraknya kira-kira tiga kilometer dari kampungku. Kampung itu bernama kampung muslim, sebuah kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang tentu bertolak belakang dengan agama yang dianut di kampungku.

Hari demi hari berlalu, senang rasanya melihat penduduk muslim saat mereka pergi mengaji dengan Al-Quran di tangan dan peci serta sarung yang mereka kenakan, ingin rasanya aku merasakan seperti apa yang mereka rasakan saat itu. Dengan polos, aku menceritakan pengalamanku di kampung muslim itu kepada ayah. Namun tak disangka, bak petir menyambar pohon, ayah langsung memarahiku sejadi-jadinya dan mengurungku seharian di dalam kamar mandi tanpa sedikitpun diberi makan.

Peristiwa tersebut menjadi pengalaman awal dari kisah panjangku sebagai seorang mualaf yang dipenuhi dengan berbagai macam duri ujian dan cobaan yang kurasakan sejak dari kampung halaman, bahkan hingga sampai detik ini, bekas luka itu masih dapat kurasakan baik lahir maupun batin. Namun semua luka dan perih yang pernah aku alami, belumlah sebanding dengan ketenangan jiwa dan rasa haus akan rohani yang kini mulai terisi oleh lafadz-lafadz nan indah dan penuh makna dari Al-Quran.

Hidayah itu datang saat aku tumbuh menjadi dewasa. Aku bisa merasakan indahnya mengucapkan dua kalimat syahadat di daerah Bandung, tentu saat Ayah dan Ibu tidak dapat menyaksikan saat-saat paling membahagiakan dan mengharukan yang pernah aku alami dalam hidup. Dua kalimat syahadat yang meneguhkan-ku sebagai umat Islam, agama yang memiliki penganut terbesar di Indonesia, agama yang damai, dan agama yang hanya mengenal satu Tuhan, tidak seperti agamaku dulu yang mempercayai Trinitas Tuhan. 

*Peserta SOW, Mahasiswa LIPIA

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
SOW Community. Diberdayakan oleh Blogger.