Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 November 2012



Cinta yang Seperti Apa Ini?
Oleh: Najmah

Gadis itu berlari kecil menerobos garis-garis Kristal bening yang berjatuhan, gerimis di malam hari. Setapak demi setapak Ia berlari, genangan air tidak Ia hiraukan membasahi kakinya yang terlihat lelah, dan amat berat seberat nafasnya yang terengah-engah, senada detak jantungnya yang berdebar cepat melebihi gerak larinya sendiri. Khiwarnya berkibar, begitupun jilbabnya yang kini kuyup karena guyuran gerimis yang terasa semakin mengganas.

Aku harus cepat sampai di halte itu, tidak boleh… Yahh dia tidak boleh menunggu lama!” batinnya diantara aliran darah yang terasa beku baginya kini.

Ada seseorang yang menunggunya di  halte itu, dan Ia tidak boleh membuat orang itu menunggu lama, terus… dan Ia terus berlari.

Di tepi jalan, diantara taman-taman, di halte. Sesosok laki-laki menunggu, wajahnya gelisah melihat di sekeliling, harap-harap cemas. Sesekali Ia duduk, sesekali berjalan mondar-mandir, sesekali memandang bola lampu yang bergoyang terlihat merana, sepi, hening dan sendiri, seperti dirinya. Lagi-lagi pandanganya menyapu kanan kiri di sekitar, tak terlihat, tidak ada tanda-tanda kedatangannya, yahh gadis itu. Hanya gerimis yang seolah-olah membujuk, “pergi saja, berhentilah menunggu, dia tidak akan menemuimu” ahh hatinya semakin kacau dibuatnya.

Terus berlari… Gadis itu terus berlari berusaha menerjang gerimis yang kini menjelma menjadi hujan, hujan itu terlalu menyakitkan baginya kali ini. Basah di sekujur tubuhnya, tak peduli,  ia hanya ingin waktu berhenti sejenak hingga Ia tak membuat seseorang itu menunggu terlalu lama, karena gadis itu tahu bahwa laki-laki itu sudah pasti menunggu.

Laki-laki itu, manunggu bersama rentetan hujan yang tak kunjung berhenti. Tapi teguh, Ia tidak boleh beranjak pergi, ada sesuatu yang harus di sampaikan, “aku harus tetap menunggunya,” batinnya sebelum akhirnya terdengar langkah dari kejauh..dan Ia melihatnya, sesosok yang ditunggu.

Gadis itu mendengar bisik sebuah penantian, mereka hanya terpisah dalam balutan hening ketika keduanya bertatap muka, hening… tapi gaduh pada hati keduanya, hening yang menyayat.

Masih dengan nafas yang terengah-engah, dia berusah tenang tanpa berniat merapikan khiwar dan jilbabnya yang sudah benar-benar lembek itu, dingin menusuk sampai ke tulang terasa setelah gadis itu diam. Tapi tidak lagi setelah tiba-tiba laki-laki yang kini Ia tidak sedang menunggu lagi memakaikan jaket tebalnya kepada si gadis, nyaman.

Mereka pun duduk di kursi halte yang rasanya ikut mendingin karena hujan, Masih hening…
Dan semakin terasa hening ketika kedua mata itu beradu,, mata laki-laki itu menatap si gadis tajam, tapi layu.  hening… tapi sesaat kemudian…
“Apa kamu benar-benar mencintaiku,” tanya laki-laki itu tiba-tiba, hati gadis itu kini nyata semakin gaduh.
“Kamu bertanya dengan pertanyaan seperti itu kepada orang yang jelas kamu sudah tahu, bahwa orang itu mencintai kamu?” Tanya balik gadis yang berawakan tidak lebih dari selengan  laki-laki itu.
“Aku hanya ingin memastikan”
“Lalu? ”
“Aku ingin kamu tidak seperti itu, aku nggak mau kamu mencintaiku ” Mata gadis itu pun mulai berkaca-kaca.
“Kenapa?, apa kamu berhak atas perasaanku, sedang kamu tau, bukan aku yang menghadirkannya?”
“Aku nggak mau kamu sakit, Bintang…” bintang nama gadis itu.
“Kenapa aku sakit? Apa yang kamu perbuat hingga kamu yakin aku akan sakit?” gadis itu tertunduk menyembunyikan air matanya yang kini mencurah.Tapi tak ada yang bisa tertutupi.
“Please, jangan menangis, apalagi hanya karena aku,”
“Bukan itu Titan, aku menangis karena kau menyuruhku untuk tidak adil dengan perasaanku,” Titan, Bintang pun menyebutkan nama laki-laki yang kini membuat hatinya teriris.
“Tapi nggak mungkin buat aku nyakitin kamu lebih dari ini Bintang, kamu tau aku sudah ada wanita dalam kehidupan aku, dan aku nggak mungkin ninggalin dia” ada gurat rasa bersalah di wajah Titan.
“Yah aku tau tan, akupun nggak bermaksud ingin memilikimu dengan perasaan ini, cukup hanya untuk di kabarkan,”
“Dan aku juga sayang sama kamu bintang,” aku Titan tiba-tiba.
“Dan aku hanya ingin kamu ada ketika aku butuh ada kamu disampingku” ucap bintang tegar kini.Meski rasanya ada yang salah dalam ucapannya.
Hening sesaat… angin malam ini semakin menusuk tulang,
“Tidak mungkin seorang imam, memimpin sholat di dua masjid berbeda dalam waktu bersamaan, Bintang…” Ucap laki-laki itu, ada sedikit tekanan dalam kata-katanya.
Hanya diam, gadis itu kini terus mencari kebenaran hatinya,
”Kenapa jadi seperti ini?, cinta seperti apa ini?? Kenapa aku seperti hamba yang bodoh?, mengemis cinta kepada hamba yang jelas tidak tahu arti kebesaran cinta, sungguh bodoh sampai-sampai aku berharap waktu berhenti agar Ia tidak menunggu lama,  membiarkan khiwar dan jilbab ku yang seharusnya menjadi tanda kecintaanku terhadapnya-Nya, aku biarkan basah tak terjaga seperti ini, menerobos hujan lagi-lagi hanya karena tidak ingin membuat dia menununggu lama, seharusnya aku memelihara anugerah cinta ini, bukan untuk di hambur-hamburkan tak jelas seperti ini, aku yakin akan lebih indah ketika dia tidak tau, dan biarkan garis takdir tuhan yang berbicara, salah ku.. padahal Allah sudah menyediakan cinta yang tiada tara, yaitu Cinta-Nya dan cinta ku bersama orang-orang yang hanya mengharapkan cinta yang atas karena keridhoan-Nya,  Ya Robi fagfirli..

Hening..untuk yang tak terhitung kalinya, hingga kini seorang Bintang pun sendiri, berteman gerimis yang menyisahkan luka, dera, kecewa… air mata dan doa kini menjadi satu, berharap Allah mendekapnya lebih erat, cinta seperti apalagi kah yang ku cari, jika Cinta-Nya lebih membuat ku bahagia?


A PRECIOUS LOVE
Oleh: Hip Hop Hime
 Ketika itu pukul 02.10 wib, aku terbangun karena rasa haus yang mencekek tenggorokanku.Agak malas kubuka pintu kamarku sambil menggosok mataku yang masih melihat dengan kabur. Malam yang dingin dan gelap, dengan was-was kulangkahkan kakiku menuju dapur. Lampu di beberapa ruangan mati, membuat suasana remang-remang yang membuat bulu kudukku merinding. Aku melintasi kamar ibuku, pintu kamarnya terbuka, kulihat ia duduk di sebua sofa minimalis berwarna biru muda, ditangannya ada sebuah gelas berisi cairan berwarna biru yang kusadari cairan itu adalah minuman keras bermerek grey-goose vodka. “ ma..!” panggilku sambil membuka lebar pintu kamarnya. “ kenapa sih ma, kenapa harus minum lagi, kenapa ga’ mau dengerin aku!” bentakanku membuat ibuku terkejut dan membuang minuman haram  itu.
                Setengah sadar ibuku segera berdiri dan berlari untuk memelukku, “ kali ini ja na, please!”. Ia meneteskan air mata, aku tahu hangat itu timbul karena penyesalan. Bukan karena menyesal meminum minuman haram itu, tapi karena telah melanggar kesepakatan yang kubuat dengannya. Ibuku seorang pecandu minuman keras, tapi kata ayah ia menghetikan kebiasaannya saat mengandungku, dan kambu lagi ketika aku berumur 10 tahun. “ ma, ana kecewa. Mungkin lebih baik ana tinggal sama papa aja!” aku mengelak dari pelukannya sambil menyeka air mataku.
                “ jangan na, please! Jangan tinggalin mama sendirian! Mama ga’ bakal minum lagi, please sayang!”. Aku kecewa dengan sikap ibuku, aku sudah berjanji padanya apa bila aku melihatnya meminum minuman keras lagi, aku akan meninggalkannya dan melanjutkan sekolahku ke london, tempat dimana ayahku berada. 2 tahun lalu ketika umurku 16 tahun ayah dan ibuku bercerai, tak ada pertengkaran, tak ada permasalahan yang serius. Ayah mencintai ibu, hanya saja ibu menganggap dirinya tak pantas untuk ayahku. Sungguh mengecewakan kenapa ibu baru memikirkan hal itu setelah aku ada, aku jengkel dengan sikap ibu. Ayah menerima ajakan ibu untuk bercerai karena ia tak tega melihat ibu merasa bersalah dengan dirinya sediri.
Hingga malam itu selesai aku masih mendengar ibuku mengetuk pintu kamarku dan memohon maaf padaku.Tentu saja sebagai anak aku tak tega. Pukul 04.40 WIB, azan subuh berkumandang. Ku ambil wudu’ku dan segera menghadap kepada sang pencipta yang maha tinggi. Aku memulai solat memang masih tergolong baru, ketika bercerainya orangtuaku, ayah dan ibuku sepakat aku dititipkan di rumah saudaraku. Mereka mengajariku cara sholat dan membaca Al-qur’an.
                Perlahan kubuka pintu kamarku, tak ada suara ibuku, aku yakin ibu pasti sudah ke kamarnya.Kulangkahkan kakiku memeriksa keadaan di sekitar kamarku.Aku yakin ibuku di kamarnya, namun ketika aku keluar kamar tubuh ibuku sudah terbaring lemah di lantai.Wajahnya pucat, aku mulai khawatir dan sangat merasa bersalah.Kudekati ibu, ku periksa denyut nadinya.Masih ada denyut nadinya, ada hangat yang mengalir di mata dan hatiku, kupeluk tubuh ibuku. Tubuhnya ringan sekali, ku panggil ia dengan lirih, sepertinya aku tak punya daya yang masih tersisa. “ ma, mama. Maafin ana ma!” aku mencium pipi ibuku, wajahnya terasa sangat dingin.
                Ibuku membalas pelukanku dengan sangat erat.Sambil meneteskan air matanya, ibuku tersedu-sedu.“ maafin mama sayang.”  Ibuku terus mengucapkan kata-kata itu, aku membimbingnya menuju kamarnya, namun ia tak mau melepaskanku. “ temani mama sayang, apapun yang kamu inginkan mama akan lakukan.




Surat
Oleh: Restia

Langit, senja Ciputat tak pernah seindah langit Lembak Pasang, tanah kelahiranku yang selalu ku kenang. Biasanya setiap senja tiba aku senang berlama-lama di luar rumah hanya untuk menyaksikan kemilau langit senja di tambah dengan indahnya pantai yang dihiasi sunset, juga burung-burung yang ingin pulang ke sarangnya.

Setiap hari senja langit Lembak Pasang itu selalu sunyi, tapi itu yang membuatku senang. Tahukah kau? Karena dengan kesunyian itulah aku bisa menikmati indahnya senja Lembak Pasang itu tanpa ada gangguan apapun dan itu membuatku sangat nyaman. Tidak seperti langit kota baru, beribu senja aku lewati penuh kesan dan kenangan tapi sedikit yang dapat aku nikmati karena aku tau kota baru itu terlalu sibuk dnegan berbagai urusan-urusan. Dan aku ikut terseret di dalamnya.

***

Surat dari keluargaku terletak lesu di rak bukuku. Surat yang datang sekian kali, setelah surat-surat yang lalu mendesakku untuk pulang. Aku takut menyentuh surat itu. Aku tak punya keberanian untuk membukanya apalagi membacanya. Hingga malam larut, aku masih takut membukanya. Bukan pulang ke Lembak Pasang yang aku takutkan, sebenarnya. Rindu selalu mendatangiku. Akan sanak saudara di sana, terlebih pada ibu.

Ibu. Setiap kali menyebut namanya, rindu pulang kampung semakin menghantuiku. Tetapi aku tetap saja tak berani membuka surat itu. Aku takut itu malah menambah rasa rinduku pada ibu, juga Lembak Pasang.

***

Aku pandangi surat itu. Buka dan bacalah jika kamu masih menganggap keluarga adalah bagian dari hidupmu. Hati kecilku coba membisikkannya padaku. Bacalah agar kau dapat merasakan tanah kering karena panas yang masih setia pada Lembak Pasang. Bacalah agar kau dapat menikmati langit senja Lembak pasang. Bacalah agar kau dapat mengingat masa kecilmu. Bukankah Ciputat tak mampu memberikan kebahagiaan yang lebih, juga kehidupan sempurna. Ciputat memang memberimu materi yang berlimpah, tapi yang lebih banyakl justru kesepian yang sangat.Ingat, kau hanya perantau disini.

***

Darahku berdesir. Aku tak akan bisa mengingkari tanah kelahiranku. Karena disanalah tangis pertamaku terdengar. Tanah, air, udara, angin, langit desa yang jadi saksi kelahranku. Aku tak akan pernah bisa mengingakarinya. Tak akan pernah bisa.

***

Lambat, aku mulai menyentuh surat yang tergeletak lesu di rak buku. Lagi, darahku berdesir ketika jemariku menyentiuh ujung amplop. Bukalah. Aku himpun seribu kekuatan untuk bisa membaca surat itu. Aku berusaha menenangkan hatiku. Tapi tiba-tiba aku menggigil. Rasa rindu dan kecintaan semakin mendekatiku. Aku merasakan cinta yang sanagt. Tanah kelahiranku yang terletak kira-kira ratusan kilo seperti terang benderang dalam pandangan. Kemilaunya melebihi kemilau bintang di langit. Aku akan membuka surat itu dengan suka cita, dengan sepenuh jiwa dan raga.

Ah, kenapa perasaanku kacau datang seperti hendak membunuhku? Aku selalu takut. Takut membuka dan membacanya. Dan ini entah hari keberapa aku kembali termenung di depan surat yang tergeletak itu. Aku tak punya nyali, bahkan tubuhku terasa rontok habis di depannya, Aku tak bisa.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
SOW Community. Diberdayakan oleh Blogger.