Waria oh Waria
Oleh: Fikriyah
Bukan sesuatu yang tabu lagi bagi kini mendengar istilah trans gender yang sekarang lebih akrab
di telinga masyarakat dengan istilah Waria (wanita-pria). Kehadiran para waria
pun sudah dianggap biasa apalagi di kota sebesar Jakarta ini. Dan waria saat
ini seolah-olah sudah menjadi pembagian tersendiri dari jenis manusia selain
yang berjenis kelamin pria dan wanita. Padahal Rasulullah SAW telah melarang
seorang hamba laki-laki yang menyerupai perempuan dan seorang hamba perempuan
yang menyerupai laki-laki.
Dari Ibnu
abas RA. Ia berkata, ”Rasulullah SAW
melaknat orang laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai
laki-laki,” (HR. Bukhari)
Yang menjadi
pertanyaan, apakah larangan itu berlaku bagi non-muslim? Lalu sekarang timbul
pertanyaan apakah seorang muslim akan mempertimbangkan resiko sebuah dosa
apabila dia sudah merubah hidupnya dengan kata lain berpaling dari takdir
Allah, kodrat yang sudah ditentukan?
Di Cinere,
Tanggerang, bahkan ada komunitas trans gender atau waria yang sekarang
dinamakan kampung waria. Menurut mereka para waria, trans gender adalah sebuah
takdir dari sebuah naluri. Lalu bagaimana dengan pendapat adanya trans
gender yang dikarenakan keadaan cacat dari kecil? Hal demikian memang sudah
jarang menjadi alasan seseorang memutuskan untuk menjadi seorang waria, apalagi
alasan salah pola asuh dari keluarga dan pengaruh lingkungan. Tapi kini mereka
para waria mengatakan bahwasanya ini semua adalah takdir dan bahkan sebuah
pilihan hidup.
Apakah
menjadi waria adalah sebuah pilihan? Semua bisa berawal dari kecenderungan
naluri, misalkan di waktu kecil mereka terlahir sebagai seorang laki-laki akan
tetapi setelah beranjak dewasa mereka merasa bahwasanya meraka lebih cenderung
menjadi seorang wanita dari segi sikap, perilaku, atau mungkin hasil dari
pemeriksaan dokter yang bahwasanya gen laki-laki tidak lebih banyak dari gen
perempuan, maka dari itu cenderung menjadi cerminan sosok wanita.
Di Indonesia
sendiri sudah ada penertiban untuk para waria, akan tetapi justru mereka protes
dan demo untuk diakui keberadaanya setara sebagai warga Indonesia. Mereka juga
berfatwa bahwasa seorang waria adalah sebuah takdir yang akan terus terjadi.
Jadi apabila pada tahun sekarang 7 juta waria diberantas bahkan di hukum mati,
apakah ada jaminan 10 tahun mendatang tidak ada waria-waria kecil? Lalu, mau
dimana nasib orang-orang memilih menjadi waria? Kemudian, ketika waria sudah
menjadi fakta, bagaimana cara kita sebagai sesama manusia meyakini bahwasanya
waria juga butuh diberdayakan, bukan di anggap sebagai ‘makhluk lain’?
Tentu ini
tergantung cara pendekatan kita terhadap para waria. Apakah kita bisa berdialog
dan berkumpul bahkan sharing bersama mereka. Seperti pepatah mengatakan “tak
kenal maka tak sayang” mungkin dengan cara berulang-ulang melakukan pamahaman
tentang waria pun bisa menjadi jembatan untuk kita mengenal keberadaan waria. Karena
pada kenyataanya tidak dapat kita pungkiri di sekeliling kita meskipun tidak
banyak terdapat waria, bahkan dari mereka ada yang menjajaki studinya di
perguruan tinggi. Sebut saja “mama Yoli”, dari suka Aasmat yang kini menjadi
presiden komunitas trans gender di Cinere, bahkan beliau mencalon sebagai ormas
pemberdayaan hak asasi para waria di pemerintahan. Fakta ini membuat kita makin
tercengang. Bahkan mereka bisa membuktikan bahwasanya mereka bisa mencetak
generasi yang luar biasa.
Lalu siapa
yang bertanggungjawab jika waria ternyata berada pada jalan yang salah? Rasanya
itu menjadi tanggungjawab kita semua yang berdiri dalam pilihan yang ditentukan
Allah.