Tampilkan postingan dengan label Reportase. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Reportase. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Januari 2012




 Rumah Dunia: Inspirasi Sepenuh Hati
Oleh: Midi Hardiani

Setelah mengunjungi Masjid Agung Banten yang bersejarah, daftar tempat yang dikunjungi oleh rombongan komunitas School of Writer selanjutnya adalah “RUMAH DUNIA. Sebuah taman baca yang didirikan oleh Gola Gong bersama istrinya Tias Tatanka di Komplek Hegar Alam No. 40 Ciloang, Serang, Banten, tepat di halaman belakang rumah Gola Gong di atas tanah seluas 1.000 meter persegi yang terdiri dari perpustakaan, panggung pertunjukan, sekretariat volunteer, toko buku, mushola, toilet, area bermain, dan tentu saja halaman belajar.

Pertama kali menginjakkan kaki di Rumah Dunia atmosfer seni sudah kami rasakan sangat kental menyelimuti siapa saja yang berkunjung. Bagaimana tidak, kedatangan kami pertama kali disambut oleh boneka-boneka jerami yang dipasang di antara jalan masuk menuju rumah dunia, juga tumpukan jerami yang disimpan sembarang guna menambah kesan seni dan penetrasi sosial Rumah Dunia. Di halaman depan, terdapat balai belajar bersama yang dibuat serupa bangunan khas perkampungan lengkap dengan atap rumbai dari daun kelapa, yang pada tiap sisi temboknya ditempel lukisan-lukisan hasil karya seni siswa SD yang ikut dalam lomba melukis Rumah Dunia. Sebuah arena bermain yang terbuat dari bambu-bambu yang disusun tinggi di samping balai belajar, juga menjadi daya tarik kami yang berkunjung.




Rombongan School of Writer yang berangkat dengan satu bus dari Ciputat disambut oleh salah satu murid Gola Gong yang mengikuti kelas menulis Rumah Dunia. Namun karena Sang Guru Menulis (Gola Gong) belum juga tampak, maka kami pun memanfaatkan waktu senggang untuk masuk lebih dalam ke area Rumah Dunia. Sebuah papan nama bertuliskan “Rumah Dunia” terpampang jelas di atas pintu masuk Rumah Dunia. Lalu di bagian dalam Rumah Dunia, kami bisa melihat lebih jelas ‘pabrik’ pencetak para penulis muda itu di sini, sebuah halaman belajar dengan pohon rindang yang di kelilingi oleh panggung pertunjukan, perpustakaan, toko buku, mushola dan sekretariat volunteer membuat kami serasa ingin sekali berlama-lama berada di Rumah Dunia dan bergabung dalam kelas menulisnya. Berbagai koleksi buku-buku serta sobekan-sobekan koran lokal maupun nasional yang memuat tentang Rumah Dunia dan tulisan-tulisan Gola Gong terpampang di antara dinding-dinding perpustakaan. Tak lama setelah saya dan kawan-kawan melihat-lihat lingkungan Rumah Dunia, Gola Gong pun datang menyapa kami dengan ramah, sang ‘Master Literasi’ yang sangat sederhana dan giat memberikan perubahan besar bagi masyarakat dengan menulis.

Bagi saya, ini kali kedua saya bertemu dengan Gola Gong setelah perjumpaan pertama kali saya dengannya di Taman Ismail Marzuki (TIM) dalam acara panggung diskusi sastra, saat itu beliau menjadi pembicara, dan dalam acara tersebut beliau menceritakan sedikit tentang Rumah Dunia, “Rumah Dunia didirikan untuk memberdayakan para anak, remaja dan mahasiswa di sekitar Banten untuk berkarya. Rumah Dunia bukan hanya milik saya, kami, tapi milik kita semua, siapapun boleh datang kesana”. Ungkapnya. Dan saat saya berada di Rumah Dunia ini, saya teringat ungkapan Gola Gong tersebut.

Rumah Dunia memang milik semua orang, salah satunya adalah Endang Rukmana yang menyambut kami di halaman depan. Seorang murid Gola Gong dalam kelas menulis yang dulunya hanya seorang pedagang gorengan yang tak peduli dengan membaca, sastra, apalagi menulis, karena baginya dulu yang terpenting hanyalah bekerja dan bekerja. Namun sejak bertemu Gola Gong dan bergabung dalam kelas menulis, Endang pun perlahan namun pasti berubah menjadi seorang penulis muda yang terkenal, saat ini beberapa bukunya sudah terpampang di toko-toko buku seperti Gramedia dan Mizan, selain itu tulisan-tulisannya pun sudah banyak dimuat di koran-koran lokal dan nasional. Kisah itu Endang ceritakan pada kami yang berada di ruang balai belajar bersama Rumah Dunia bersama Gola Gong dan beberapa volunteer Rumah Dunia. Setelah Endang, beberapa murid Gola Gong lain yang saat ini menjadi volunteer Rumah Dunia pun menceritakan kisah serupa, yang seketika itu juga membuat haru suasana ruang balai belajar bersama bagi kami yang mendengarkan, sebuah kisah para penulis muda yang terlahir dari tangan dingin seorang Gola Gong.

Setelah para volunteer Rumah Dunia berbagi cerita, kini giliran Gola Gong yang berbagi ilmu dan pengalamannya kepada kami. Ia mulai bercerita tentang bagaimana usahanya untuk mewujudkan cita-cita mendirikan Rumah Dunia sebagai wadah literasi bagi masyarakat Banten. Cita-cita yang saat ini tidak hanya masyarakat Banten yang bisa merasakan manfaatnya, namun kami para peserta SOW pun bisa tenggelam dalam samudera literasi yang diciptakan oleh Gola Gong, istri dan rekannya di Rumah Dunia. Saat ini, dalam sepekan saja Rumah Dunia memiliki seabrek agenda literasi yang menarik, antara lain: Wisata Baca dan Dongeng, Wisata Gambar, Wisata Tulis, Bahasa Inggris, Wisata Lakon, Klub Diskusi Rumah Dunia, Crash Program dan Kelas Menulis. Juga ditambah dengan agenda bulanan dan tahunan seperti Jurnal dan Majalah Rumah Dunia, Ekhibisi, Tawuran Seni, dan Writing Camp.


Dalam pemaparannya tersebut, Gola Gong juga memberikan kami pelajaran dasar mengenai menulis, yang dilanjutkan dengan memotivasi kami untuk terus menulis dan menulis. Walaupun singkat, tapi materi itu sangat berarti bagi kami sebagai materi dasar selain materi-materi yang kami dapatkan selama tiga bulan dalam School of Writer. Dan tak hanya Gola Gong yang memberikan materi, murid-murid kelas menulis lainnya yang hadir pada saat itu pun memberikan tips-tipsnya kepada kami tentang mengemas gagasan menjadi karya tulis.

Tentu dibalik kesuksesan yang ada pada Rumah Dunia saat ini tak lain adalah perjuangan tanpa henti seorang Gola Gong. Kekurangan fisik tak menjadikannya patah semangat, itu pula justru yang mengispirasi banyak remaja di Rumah Dunia. Dengan tangan kirinya, Gola Gong tidak saja telah menulis lebih dari 60 buku, ia pun telah melahirkan banyak para wartawan muda, novelis muda, dan penulis-penulis muda lainnya. Hingga saat ini ia terus berkarya dan bergerak untuk literasi bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat dan lingkungan luas. Semuanya ia lakukan sepenuh hati.

Di penghujung perjalanan SOW kali ini, tidak lengkap rasanya jika tidak mengabadikan momen bersejarah ini dengan kamera di halaman Rumah Dunia bersama Gola Gong dan Istrinya Tias Tatanka. Semoga ada Gola Gong Gola Gong yang lain, dan ada Rumah Dunia Rumah Dunia yang lain yang hadir untuk mencerdaskan anak bangsa dan melestarikan warisan budaya Indonesia. [Peserta SOW, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan]

Senin, 09 Januari 2012

Makna Filosofis Dibalik Masjid Agung Banten
Oleh: Midi Hardiani

Pada 2 Januari 2011, peserta School Of Writter  (SOW) IMM Ciputat melakukan wisata edukasi ke objek wisata Banten Lama di Kota Serang. Dibutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan dari Jakarta menuju kawasan ini dengan menggunakan bus. Saat tiba di lokasi, kami disambut oleh ibu-ibu “penukar uang receh”, pengemis, dan para pedagang yang memadati kawasan Masjid Agung Banten. Suatu keadaan yang jarang ditemui di masjid atau museum, serta kawasan wisata lainnya di Indonesia. Tapi sesungguhnya yang menarik perhatian saya dan para peserta lain adalah bangunan masjid dan sebuah menara yang kemudian menjadi sebagai simbol dari Provinsi Banten. (Insert: Menara Banten).

Saya langsung penasaran ingin mengetahui seluk beluk (baca: sejarah) dari Masjid Agung Banten ini. Maka untuk menemukan informasi mengenai sejarah Masjid Agung Banten, saya pun menemui bapak M. Hatta Kurdie selaku bagian pendidikan dan Informasi Masjid Agung Banten, beliau tinggal sekitar 300 meter dari komplek masjid.
`
Komplek Masjid Agung Banten terdiri dari bangunan masjid dengan serambi pemakaman di kiri dan kanannya, tiyamah (museum), menara, dan tempat pemakaman di halaman sisi utara. Arsitektur Masjid Banten hampir sama dengan Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Cirebon, karena ketiganya dibangun oleh arsitek yang sama, yaitu Raden Sepat dari kerajaan Majapahit. Menurut sejarah, bangunan Masjid Agung Banten banyak mengadopsi dari bangunan-bangunan Hindu. Akan tetapi menurut Bapak Hatta, karena yang dibuat adalah sebuah masjid, maka tentu akan dilihat dalam perspektif Islam. Ternyata di setiap bangunan yang didirikan di kawasan Masjid Agung Banten ini, selain didirikan atas dasar manfaat, juga terdapat makna filosofis Islam yang sangat mendalam.

Bangunan Masjid
Atap masjid yang dibuat seperti punden berundak-undak dengan susunan tumpang lima, adalah gambaran dari rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Lalu pintu masjid yang seluruhnya berjumlah enam, merupakan simbol dari rukun iman. Seluruh pintu Masjid Agung Banten sengaja dibuat kecil, agar setiap orang yang masuk masjid tunduk, sebagai simbol bahwa sebagai manusia harus bertawadhu kepada Allah dan bahwa semua manusia sama, tidak ada perbedaan. Tiang masjid yang terdiri dari 12 buah, melambangkan 12 bulan dalam satu tahun, serta seluruh tiang yang berada di sekitar masjid berjumlah 24 yang melambangkan waktu dalam satu hari penuh. Hal tersebut untuk mengingatkan manusia agar memanfaatkan setiap waktu yang tersedia untuk beribadah. Tinggi masjid mulai dari dasar sampai puncak masjid sepanjang 17 meter merupakan simbol dari jumlah rakaat shalat wajib dalam 1 hari, serta 17 ramadhan sebagai tanggal diturunkannya Al-Qur’an. Penyangga tiang (umpak) yang berbentuk seperti sebuah labu adalah simbol dari kemakmuran masyarakat banten. Lalu di halaman masjid terdapat 4 kolam yang melambangkan 4 mazhab yang ada di Indonesia, selain itu berfungsi pula untuk mencuci kaki sebelum memasuki masjid bagi para jamaah.


Menara
Masjid Agung Banten dibangun pada abad ke 16 atau sekitar tahun 1560, di tahun yang sama pula dibangun sebuah menara masjid yang berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan, serta tempat untuk memantau keadaan di teluk Banten. Menara tersebut dibangun oleh arsitek asal Cina yaitu Cek Ban Cut yang oleh Sultan Ageng Tirtayasa sang arsitek kemudian diberi gelar Pangeran Wiradiguna. Pada tahun 1683, menara tersebut kemudian direnovasi oleh Henrik Lucasz Cardeel dari Belanda, dan pada saat itulah mulai masuk pengaruh budaya Eropa yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh agama Budha dengan adanya padma (bunga teratai) pada puncak menara sebagai lambang agama Budha. Sangat terlihat jelas akulturasi budaya yang kuat dalam komplek masjid Agung Banten tersebut.

Tiyamah (Museum)
Tiyamah pada awalnya dibangun untuk tempat pertemuan bagi para ulama setiap 40 hari sekali untuk mengadakan pengajian, diskusi, serta laporan mengenai keadaan dari daerah masing-masing para ulama-ulama. Pada saat kesultanan Banten runtuh oleh Daendels pada tahun 1866, Banten pun berubah menjadi kota mati, dan tiyamah akhirnya hanya digunakan sebagai tempat penyimpanan alat-alat perang dan alat-alat rumah tangga (museum). Namun karena kekurangan tenaga kerja maka banyak dari peninggalan-peninggalan tersebut yang hilang.

Komplek Pemakaman
Pemakaman yang berada di komplek Masjid Agung Banten terdiri dari 7 makam yaitu: makam Maulana Hasanuddin (Sultan Banten 1), Permaisuri Maulana Hasanuddin (Nyai Ratu Ayu Kirana), Maulana Muhammad Nasruddin, Sultan Ageng Tirtayasa (Generasi ke 6), Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kohar), Sultan Abdul Fadhol (Generasi ke 8), dan Permaisuri dari Abdul Fadhol. Pemakaman di komplek Masjid Agung Banten pada akhirnya menjadi tempat ziarah warga Banten dan beberapa warga di luar Banten, dan ziarah inilah yang menjadi mayoritas tujuan utama masyakat mengunjungi kawasan Banten Lama.

Masjid Agung Banten dengan segala keindahan, sejarah dan makna falsafah Islam di dalamnya, tercatat sebagai masjid bersejarah yang paling banyak dikunjungi di Indonesia, dibandingkan dengan masjid-masjid lainnya. Setiap harinya masyarakat berbondong-bondong mengunjungi masjid Agung Banten untuk beribadah, menemukan arti dibalik detail bangunan yang berdiri, atau sekedar ingin merasakan semangat perjuangan Islam dan Indonesia yang lama terpendam. Masjid Agung Banten dan menara serta bangunan lain di kawasan Banten lama, adalah peninggalan sejarah yang besar, yang harus dipelihara kesucian dan fungsi serta manfaatnya ditengah masyarakat, sehingga generasi muda selanjutnya dapat pula merasakan makna penting dibalik keagungan sejarah Banten Lama. [Midi-PK. ITK, Peserta SOW]

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
SOW Community. Diberdayakan oleh Blogger.